Ilustrasi Pulau Timor oleh Luis Peres.
Dalam sebuah artikel yang ditulis Anne
Lombard-Jourdan berjudul “François Péron dan Charles Lesueur, Perburuan Buaya
di Timor pada 1803” yang dimuat dalam majalah Archipel menceritakan kisah
tentang adanya perburuan buaya di Pulau Timor. Disebutkan bahwa pada abad
ke-17, pantai Pulau Timor banyak ditemukan buaya yang pada malam harinya banyak
berkeliaran di rawa-rawa dan juga sekitar Benteng Concordia hingga rumah
penduduk di tepi sungai, demikian juga dengan kisah beberapa orang yang berenang
dilahap buaya. Masih menurut tulisan artikel tersebut, bahwa penduduk Timor
begitu takut dengan buaya hingga mereka memuja dan juga menganggap sebagai
monster liar. Di jaman sebelumnya jika ada perselisihan antar warga, maka untuk
memutuskan mana yang benar dan atas perintah raja, dua orang akan
ditenggelamkan dalam danau yang penuh buaya, seseorang yang selamat keluar dari
danau, dialah yang benar. Saat itu para pemburu Eropa ingin menangkap buaya,
tetapi orang Timor enggan membantu, namun para pemburu seolah memaksakan hingga
diperingatkan akan mati jika memburu buaya tanpa didampingi oleh orang Timor.
Mereka akhirnya berhasil menembak seekor buaya di Babau (30 Kilometer dari
Kupang) dan kemudian kerangkanya dibawa ke Prancis untuk kepentingan penelitian.
Menurut catatan, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, karena tidak
diburu dan dibunuh maka buaya saat itu lebih besar dibandingkan buaya saat ini.
Menurut sumber di atas, panjang buaya bisa
mencapai 8,25 hingga 12 meter, entah itu sebuah kebenaran atau tidak. Karena
saat ini hanya seekor buaya raksasa dari Kepulauan Mindanao di Filipina, dengan
panjang 6,17 meter dan berat satu ton yang telah ditetapkan sebagai reptil
terbesar di dunia oleh Guinness Book of World Records (2012). Sedangkan rekor
dunia untuk kategori reptil terbesar sebelumnya dipegang oleh seekor buaya yang
ditangkap di wilayah Northern Territory, Australia dekat dengan Pulau Timor
pada tahun 1984, dengan panjang 5,48 meter dan berat hampir satu ton. Hingga
saat ini masih sering ditemukan buaya di pesisir pantai di Pulau Timor.
Dalam perkembangannya, mitologi pulau buaya ini
menjadi inspirasi kesenian bagi masyarakat di Pulau Timor ini. Sebagai binatang
totem yang disakralkan, mereka mengekpresikan buaya dalam wujud benda kebudayaan
yang menunjukkan relasi antara masyarakat Timor saat ini dengan leluhurnya. Hal
ini dapat dilihat dari adanya motif-motif gambar atau ukiran buaya pada kayu
atau tenun ikat. Seperti terlihat pada motif selimut tenun ikat yang bergambar
buaya, disamping motif kalajengking yang berasal dari Niki-Niki wilayah Timor
Tengah Selatan, Timor Barat dan motif fauna buaya pada kerajinan kain Tais dan
ukiran patung buaya yang berasal di Timor Leste.
Tidak hanya buaya yang disakralkan dalam masyarakat Timor, ada juga binatang
melata lainnya yang merupakan representasi buaya yang dikramatkan yaitu cicak
(Cosymbotus platyurus) dan tokek (Gekko gecko). Tabu untuk mereka menyakiti
binatang-binatang tersebut karena dianggap sebagai pembawa kesejukan. Jika
dalam sebuah percakapan keluarga, tiba-tiba terdengar cicak yang berbunyi, maka
percakapan itu akan membawa suka cita dan memberi rahmat bahwa apa yang
dikatakan akan berdampak baik. Demikian juga dengan adanya tokek yang masuk
dalam rumah, enggan masyarakat untuk mengusirnya dan membiarkannya hidup di
dalam rumah, karena dianggap dapat mendinginkan rumah (baca: memberikan
kesejukan hidup). Entah hal-hal ini masih dipegang kuat oleh masyarakat atau
seiring berjalannya waktu, mitologi inipun mulai redup secara berlahan, dengan
menguatnya rasionalitas masyarakat. Demikianlah kiranya mitologi tentang Pulau
Timornya dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Pulau Timor. (*)
Emoticon